Pembangunan Sosial Masyarakat Budaya Kampung Naga Melalui Pendidikan
LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh,
perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak didik yang bertujuan pada
pendewasaan anak (Langeveled, Bacher & Aebli, 2007: 21). Berdasarkan
pengertian tersebut, Unesco mengajukan pilar pendidikan yakni tiang atau
penunjang dari suatu kegiatan usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang
akan diberikan kepada anak didik yang bertujuan pada pendewasaan (Unesco: 2015).
Wajib belajar
adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah (Peraturan
Pemerintah RI. No. 47 pasal 1 poin 1). Pada pasal selanjutnya, wajib belajar berfungsi mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara Indonesia dan bertujuan bertujuan memberikan pendidikan
minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya
agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi (Peraturan Pemerintah RI. No. 47
pasal 2 poin 1 dan 2).
Wajib belajar
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan
pendidikan informal (Peraturan Pemerintah RI. No. 47 pasal 3). Penyelenggaraan wajib belajar pada
jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi
SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib belajar
pada jalur pendidikan informal dilaksanakan melalui pendidikan keluarga
dan/atau pendidikan
lingkungan.
Dalam sebuah
makalah yang berjudul “Approaches to Equity in
Policy for Lifelong Learning” menerangkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
dilakukan secara merata (Archer, 2008: 107). Tidak membedakan gender, status sosial, ras, agama dan lain-lain. Pria
atau wanita, kaya dan miskin, masyarakat mayoritas, minoritas hingga masyarakat
budaya berhak atas pendidikan yang yang berkualitas. Seperti
diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak bentuk masyarakat budaya yang antara
satu daerah dengan daerah lainnya memiliki perbedaan. Salah satu masayarakat
budaya tersebut adalah masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya. Masyarakat
kampung Naga ini mampu bertahan dibawah pengaruh modernisasi saat ini.
Kampung Naga adalah daerah yang termasuk kedalam Desa Neglasari
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmaiaya. Daerah ini menjadi unik karena berada
tidak jauh dari kehidupan modern tetapi masih memelihara dan mempertahankan
adat-istiadat dan kebudayaan leluhurnya. Pada umumnya tingkat pendidikan orang Naga
masih rendah, namun sebagian kecil ada yang tamat SLTP, SLTA, bahkan ada yang
lulusan perguruan tinggi. Hanya saja sudah tidak berdomisili di Naga (azizmiftahurrizky.blogspot.com/.../pendidikan-kampung-naga.html).
Pada umumnya perkembangan pendidikan masyarakat Kampung Naga kurang
meningkat dari masa-kemasa dilihat dan rata-rata pendidikan masyarakatnya, yang
dari dulu hingga sekarang kebanyakan berasal dari lulusan sekolah dasar. Hal ini
dikarenakan belengu budaya dan pendekatan pemerintah daerah terhadap penerapan
wajib belajar bagi masyarakat.
Penduduk Kampung Naga sangat patuh pada pemerintah, terbukti dengan
filosofinya yang menarik yaitu “Panyaur gancang temonan, parentah gancang lakonan,
pamundut gancang caosan, Pamarentah lain lawaneun tapi kawulaaneun, pamarentah
sanes tempat menta tapi pamarentah tempat kumawula”. Artinya kurang
lebih begini: Apabila dipanggil segera penuhi, apabila diperintah cepat
dilakukan dan apabila ada keinginan cepat kabulkan, pemerintah bukan untuk
dilawan tapi untuk diayomi dan mengayomi. Atas dasar tersebut, potensi
keberhasilan pemerintah daerah dalam implemetasi wajib belajar pada masyarakat
Kampung Naga sangat berpotensi jika menggunakan pendekatan yang tepat. Sinergi
antara kepemimpinan di daerah, pengelolaan yang baik dan kebijakan yang tepat
akan membawa dampak positif terhadap upaya pemerintah memotong garis kemiskinan
dan mensejahterakan masyarakat melalui pendidikan.
Proyek ini adalah merupakan penelitian ethnography. Kajian budaya
akan digunakan oleh peneliti untuk memahami adat-istiadat yang dipegang oleh
objek penelitian. Sebagai pondasi dalam membuat sebuah kebijakan, pandangan
yang luas dan mendalam terhadap sebuah fakta lapangan dan masalah yang dihadapi
akan berpengaruh pada kualitas alternatif-alternatif atau solusi-solusi yang
akan diajukan.
ANALISIS SITUASI
Indonesia memiliki banyak bentuk
masyarakat yang antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki perbedaan dan
di pulau Jawa khususnya Jawa Barat dan Banten terdapat beberapa bentuk
masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaannya dengan
sangat baik diantaranya masyarakat Badui di Banten, masyarakat kampung Dukuh di
Garut dan masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya (Ranjabar, 2006: 40).
Masyarakat kampung Naga ini mampu bertahan dibawah pengaruh modernisasi saat ini,
Perlu diacungi jempol memang atas apa yang telah masyarakat Kampung Naga ini
lakukan karena tentu hal ini tidaklah mudah. Namun semikian, walaupun masih
memegang teguh adat dan tradisinya ternyata mereka juga tidak menutup diri dari
dunia luar walaupun memang bila dibandingkan dengan masyarakat lain berbeda.
Melihat penomena semacam ini tentu
adalah hal wajar apabila terdapat keinginan untuk mengenal masyarakat Kampung
Naga ini lebih dalam, apalagi dalam hal pendidikan yang saat ini seakan sudah
merupakan kewajiban bagi masyarakat saat ini selain makan dan minum. Hal ini
karena pendidikan memberikan banyak pengaruh bagi kehidupan masyarakat yang
ternyata tidak dapat terlepas dari hal ini, baik dalam memperluas pengetahuan
diri, stratifikasi dalam masyarakat, mencari pekerjaan, bahkan memajukan bangsa
dan negara dalam menghadapi persaingan yang semakin besar (Unesco, 2011: 7).
Fokus projek ini adalah mengungkap: Bagaimana
sebenarnya yang terjadi dan terdapat dalam masyarakat Kampung Naga yang
notabene masih memegang adatnya? Apakah mereka bersifat tertutup nengenai
masalah penting ini bila iya apa penyebabnya? Dan Bagaimana Pendidikan di
kampong naga?
DESKRIPSI TENTANG KAMPUNG NAGA
Kampung Naga adalah daerah yang termasuk
kedalam Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmaiaya. Daerah ini
menjadi unik karena berada tidak jauh dari kehidupan modern tetapi masih memelihara
dan mempertahankan adat-istiadat dan kebudayaan leluhurnya serta letaknya yang
berada pada jalur regional antara Garut-Tasikmalaya, tepatnya pada 33 Km kearah
barat Tasikmalaya dengan luas area pemukiman Kampung Naga seluas 1,5ha.
Batas-batas daerah kampung Naga yaitu sebelah utara dan timur dibatasi oleh
sungai Ciwulan dan sebelah barat dan selatan dibatasi oleh perbukitan. Untuk
menuiu kampung Naga dapat ditempuh melalui jalan kecil dengan menuruni tangga
kurang lebih 344 tahap, setelah itu melewati jalan pematang sawah dipinggir
kali Ciwulan. Keadaan kampungnya cukup bersih dan terpelihara dengan baik.
Secara global masyarakat Kampung Naga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Kelompok masyarakat Kampung Naga yang
berada di pemukimanm Kampung Naga sendiri; dan 2) Kelompok masyarakat Kampung
Naga yang berada di luar pemukiman yang disebut juga Sanaga.
Penduduk Kampung Naga berjumlah 325 jiwa
yang terdiri dari 106 kepala keluarga dengan jumlah bangunan 117 yang terdiri
dari 108 rumah, 1 balai patemon, 1 masjid dan 1 bumi Ageung (Gudang penyimpanan
hasil bumi). Latar belakang masyarakat Kampung Naga tidak dapat dijelaskan
secara jelas dari mana asalnya, sebab sumber dan literatur-literatur seperti buku
yang menceritakan tentang sejarah Kampung Naga yang ditulis dalam bahasa
Sansekerta pada tahun 1956 buku tersebut ikut terbakar sewaktu adanya
penyerangan oleh gerombolan DI/TII pimpinan Karta Suwiryo. Tetapi menurut
anggapan masyarakat Kampung Naga, karuhun atau leluhur mereka dikenal dengan
sebutan "Sembah Dalem Singaparna”
yang menjadi panutan seluruh tatanan kehidupan adat tradisi serta hukum adat.
Sebagai penghormatan terhadap beliau maka la dimakamkan disebelah barat Kampung
Naga.
Dalam suatu masyarakat manapun tentunya
terdapat aspek-aspek yang menjadi bagian dari suatu kebulatan yang bersifat
kesatuan yang secara universal biasa disebut dengan unsur-unsur kebudayaan atau
cultural universal (Cohen, 1992: 315). Abdullah dalam bukunya disebutkan 7
(tujuh) unsur kebudayaan dalam kehidupan masyarakat manusia begitupun dalam
masyarakat Kampung Naga, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.
Keadaan
Penduduk
Masyarakat Kampung Naga berjumlah 325
jiwa yang terdiri dari 106 kepala keluarga dengan jumlah areal pemukiman
Kampung Naga tidak akan diperluas apalagi menambah jumlah bangunan baru. Hal
ini bukan ditabukan tapi semata-mata terbentur pada keterbatasan lahan yang
tidak memungkinkan. Apabila dipaksakan disatu pihak akan menyita luas tanah
atau sawah milik pribadi yang memang sangat sempit. Oleh karena itu, apabila
ada warga Kampung Naga yang membangun rumah harus secara sukarela sadar sendiri
dan iklas mencari tempat di luar Kampung Naga, jadi tidak benar apabila ada
orang yang mengatakan bahwa jumlah bangunan di kampung Naga harus seperti orang
Baduy. Adapun yang disebut orang Naga (bukan suka Naga) yaitu baik yang
domisili di Kampung Naga, maupun yang berdamisili di kampung-kampung sekitamya.
2.
Mata
Pencahariau Masyarakat Kampung Naga
3.
Tingkat
Pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan orang
Naga masih rendah, namun sebagian kecil ada yang tamat SLTP, SLTA, bahkan ada
yang lulusan perguruan tinggi. Hanya saja sudah tidak berdomisili di Naga.
Walaupun demikian, sewaktu-waktu datang untuk pulanmg kampung, terutama pada
hari lebaran dan pada upacara-upacara adat.
4.
Agama
Orang Naga termasuk Seuweu Putunya, dimanapun
mereka berada adalah pemeluk agama Islam. Jadi, tidak benar apabila ada
anggapan apabila mereka seperti orang Badui, yang menganut kepercayaan sunda
wiwitan atau anggapan yang menyatakan orang Naga itu rnenganut agama
Hindu-Budha. Dan hal itu sekali lagi tidak benar kearena mereka telah rnenganut
Islam sebelum datang ke Naga. Kiranya perlu ditambahkan tentang adanya anggapan
dari pihak luar yang menyebutkan orang Naga itu dalam agamanya tidak dipandang
murni agama Islam. Sebab katanya dalam beberapa hal menyangkut pelaksanaan
upacara-upacara adat, tampak adanya sinkretisme antara agama islam dengan
sisa-sisa agama lain yang pada dahulu kala pernah dianut oleh para leluhur.
Tetapi pada dasarnya harus dilihat dulu secara jelas, apakah yang sedang
dilakukan orang Naga pada waktu itu sedang melakukan ibadah atau sedang
melaksanakan upacara adat, sehingga dapat dibedakan pula antara mana ibadah
berdasarkan agama dan mana upacara adat.
Mengenai falsafah hidup masyarakat kampung Naga memiliki falsafah
hidup sebagai berikut:
a. Bersifat
damai dan menjauhi perselisihan walaupun mendapat hinaan tidak boleh melawan
usahakan menghindar sambil tetap sadar. Tetapi apabila telah menginjak adat
istiadat tidak boleh dibiarkan lagi.
b. Bersifat
taat pada pemerintah "Parentah Gancang Lakonan, Panyaur Geura Temonan,
Pamunut Gancang Caosan"
Sedangkan upacara-upacara
adat yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga diantaranya upacara
rutin enam kali dalam setahun yaitu:
a. Upacara
bulan Muharam untuk mamperingati tahun baru Islam.
b. Upacara
Maulid untuk mamperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
c. Upacara
Jumadil Akhir untuk mamperingati tahun Islam.
d. Upacara
1 Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
e. Upacara
Rayagung aau ziarah kemakam Sembah Dalaem Singaparna yang berada disebelah
barat pemukiman (daerah hutan keramat).
5.
Bahasa
Dalam bahasa, masyarakat
Kampung naga lebih cenderung menggunakan bahasa lisan sebagai bahasa
pergaulannya sehari-hari. Bahasa yang digunakan tersebut adalah bahasa sunda
yang telah turun-temurun menjadi bahasa pergaulan dari nenek moyangnya dahulu.
Namun demikian bukan berarti masyarakat Kampung Naga ini tidak menggukan bahasa
lainnya karena ada pula warga yang mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar, dan sebagian pun mengerti bahasa Indonesia hanya dalam pengucapannya
kadang masih terselip bahasa sundanya begitupun dalam intonasi pengucapannya
lebih berbau ciri khas bahasa sunda.
6. Kesenian
Masyarakat Kampung Naga
memiliki bentuk-bentuk kesenian yang dilaksanakan sehubungan dengan adat-istiadatnya
sehingga dalam pelaksanannya lebih mengarah pada upacara-upacara adat, nyanyian
yang berbau agama dan memiliki arti filosofis yang tinggi, juga dalam kerajinan-kerajinan
yang terdapat dalam bangunan rumah dengan bilik-bilik rumah yang indah dan
berbeda antara bilik untuk dapur dan ruang depannya serta dalam bentuk atap
yang tidak memakai genting tetapi daun-daun yang ditata apik sehingga walau
hanya terbuat dari daun namun memiliki fungsi yang
sama dan mampu menahan air hujan masuk dalam rumah.
7.
Sistem
Pemerintahan Kampung Naga
Sistem
pemerintahan kampung naga terdiri dari:
a.
Sistem pemerintahan nonformal
(Tradisional), yang terdiri dari:
1) Kuncen Kuncen yang bertugas memangku adat dan pemimpin dalam setiap
upacara adat. Syarat-syarat seseorang diangkat menjadi kuncen yaitu: laki-laki,
ada hubungan dengan kuncen terdahulu, di dukung minimal oleh tiga orang
tertentu yang mendapat wangsit lewat mimpi, sudah dewasa (berumur 35 tahun
keatas), kecuali apabila kuncen sebelumnya meninggal atau calon kuncen belum
berumur atau masih kecil, ditentukan dengan musyawarah, dan Kuncen lama tidak
sanggup lagi bekerja.
2) Punduh adat yang bertugas mengatur aktifitas kehidupan masyarakat
sehari-hari, dan
3) Lebe yang bertugas mengurus jenazah dari awal sarnpai akhir.
b. Pemerintahan Formal yaitu seorang kepala kampung, RT dan RW yang bertugas
sama seperti puda umumnya desa-desa lain.
PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
Pendidikan
merupakan suatu hal yang sangat mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia,
karena melalui proses pendidikan manusia dapat menggembangkan kemampuan yang
dimilikinya (World Bank, 2011: 67). Selain itu melalui pendidikan tersimpan
harapan yang masing-masing ingin mendapatkan hasil akhir yang sangat memuaskan.
Hasil pendidikan dapat memberikan bekal guna menghadapi masa mendatang yang
penuh persaingan, baik untuk diri sendiri, masyarakat dan negara, sehingga
dapat meningkatkan harkat, derajat dan martabat bangsa.
Pendidikan
merupakan bekal hidup bagi setiap manusia dalam membentuk manusia yang berbudi
pekerti luhur serta berkepribadian berdasarkan Pancasila (Ma’arif, 2005: 126).
Bagi orang yang mengerti arti dan guna pendidikan akan beranggapan bahwa
pendidikan itu penting dalam kehidupan, tetapi bagi orang yang tidak mengerti
akan menganggapnya hal yang biasa. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan
sangat penting terlebih lagi bagi bangsa Indonesia yang sedang meiaksanakan
pembangunan.
Keberhasilan
pembangunan serta kelanjutan penanganannya banyak tergantung pada dunia
pendidikan, sebab pendidikan merupakan sistem yang memihki nilai, fungsi dan
peranan yang amat strategis (Shofan, 2007: 196). Hal ini merupakan kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri bahwa masa depan generasi muda, masyarakat dan
bangsa ini tergantung pada corak dan bentuk pendidikan generasi muda yang kelak
akan menggantikan generasi tua. Namun tentu saja untuk membina dan mendidik
generasi muda tersebut, tidak mungkin berhasil atau tercapai bila hanya
mendapatkan pendidikan di sekolah saja, karena proses belajar atau pendidikan
seseorang tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi di berbagai tempat
diantaranya adalah lingkungan keluarga yang merupakan faktor yang paling
berpengaruh dalam menunjang keberhasilan anak untuk mencapai prestasi belajar
yang optimal. Untuk itu perlu adanya kerjasama yang saling mengisi antara orang
tua dan pihak sekolah sehingga proses pendidikan yang terdapat dalam sekolah
maupun luar sekolah dapat terjalin dengan baik serta berkembang bersama dalam
satu arah yaitu manusia Indonesia seutuhnya tanpa meninggalkan budaya dan adat
istiadat warisan leluhur.
Masyarakat
Kampung Naga adalah kelompok masyarakat yang
dikelompokan dalam bentuk masyarakat tradisional, hal ini dapat dilihat dari
bentuk fisik perumahan kampung naga, serta sistem sosial yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat itu, dimana unsur budaya tradisional merupakan suatu
pedoman bagi masyarakat kampung Naga terutama didalam mengakses bentuk-bentuk
perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat termasuk dalam
penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat Kampung Naga.
Pada
umumnya perkembangan pendidikan masyarakat Kampung Naga tidak begitu besar
dilihat dan rata-rata pendidikan masyarakatnya, yang dari dulu hingga sekarang
kebanyakan berasal dari lulusan sekolah dasar, hal ini dikarenakan kurangnya
perhatian dari pemerintah dalam menunjang perkembangan pendidikan masyarakat
kampung Naga, walaupun demikian terdapat pula sebagian kecil yang melanjutkan
sekolah pada jenjang yang lebih tinggi.
Faktor yang
berpengaruh terhadap pendidikan secara global banyak faktor yang mempengaruhi
dalam pendidikan dan saling berkaitan serta mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Muhibbin (2007: 132), faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan, yaitu:
1.
Faktor Internal siswa
a. Aspek fisiologis Kondisi jasmani dan kebugaran tubuh dapat
mempengaruhi semangat serta intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Apabila
melihat keyataan pada masyarakat Kampung Naga sendiri anak dalam belajar tidak
ditunjang dengan penerangan yang baik.
b. Aspek psikologis:
1)
Tingkat kecerdasan
(intelegensi anak). Intelegensi pada umumnnya dapat diartikan sebagai kemampuan
psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan
melalui carayang tepat (Reber, 2008).
2)
Sikap anak. Sikap adalah
gejala internal ynag berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (respon
tendensi) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek baik secara positif
maupun negatif.
3)
Bakat anak (Aptitude) adalah
kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk memperoleh keberhasilan pada
masa yang akan datang (Caplin, 2012; dan Reber, 2008).
4)
Minat (interest) adalah
kecenderungan dan kegairahan yang titnbul atau keinginan yang besar terhadap
sesuatu.
5)
Motivasi. Motivasi yang kuat
baik dari anak maupun dari pihak lain, dapat mendorong anak untuk belajar
termasuk dalam motivasi anak untuk menyenangi suatu pelajaran dan mendorongnya
untuk dapat memiliki pengetahuan serta keterampilan demi masa depan.
2.
Faktor-eksternal
a. Lingkungan
sosial. Lingkungan sosial sekolah maupun di rumah mempengaruhi semangat belajar
anak untuk benar-benar secara serius belajar guna mendapatkan pengetahuan yang
diinginkannya, kondisi masyarakat yang serba kekurangan akan sangat
mempengaruhi aktifitas belajar paling tidak anak akan menemukan kesulitan
ketika membutuhkan teman belajar. Lingkungan sosial yang paling mempengaruhi
anak adalah orang tua, sifat-sifat orang tua, praktek penggelolaan keluarga dan
kondisi lingkungannya dapat memberikan sumbangan yang berupa dampak baik dan
buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh anak.
b. Lingkungan non sosial seperti sarana, letak sekolah dan rumah anak
dimana dapat menentukan tingkat keberhasilan belajar anak, serta fasilitaas
lain yang terdapat dalam sekolah.
c. Faktor pendekatan belajar atau cara dan strategi yang digunakan
anak dalam menunjang efektifitas dan efesiensi dalam belajar.
Dalam
pelaksanaannya sendiri di masyarakat Kampung Naga terdiri dari dua bentuk yaitu
formal dan informal. Pendidikan formal sama halnya derngan tempat lain
dilaksanakan disekolah dan secara terstruktur, sedangkan pendidikan nonformal
di masyarakat Kampung Naga yaitu melalui pengajian yang dilakukan setelah
sholat magrib dimana anak-anak diajarkan etika dan adat-istiadat. Pendidikan
non-formal ini memiliki peranan yang sangat penting sebagai penanaman adat
istiadat yang terdapat di Kampung Naga.
Berdasarkan
analisa saya, perlu kiranya dilakukan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan
pada masyarakat Kampung Naga serta sangat baik apabila dibarengi pula oleh
peran aktif dari pemerintah khususnya dalam hal ini untuk memajukan pendidikan di masyarakat Kampung Naga, sehingga masyarakat dapat
lebih maju dan berkembang dalam bidang pendidikan tapi tentunya dengan tidak
meninggalkan adat dan tradisi serta kebudayaan warisan leluhur yang telah hidup
bahkan berakar hingga saat ini. Selain itu sebagai penyemangat atau motivasi
maka akan sangat bermanfaat apabila pemerintah memberikan beasiswa kepada siswa
yang berprestasi sehingga akan memacu semangat mereka untuk giat belajar.
PERSPEKTIF,
PRINSIP DAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
Dalam pelaksanaan proses pembangunan sosial bagi
masyarakat adat Kampung Naga akan mengacu pada karakteristik sosial budaya,
ekonomi dan lingkungan yang eksis dalam kehidupan komunitas mereka, oleh karena
itu pembangunan sosial Kampung Naga dikembangkan dengan mengambil perpaduan dua
perpspektif dalam pengembangan masyrakat yang dikemukakan oleh Jim Ife dan
Frank Tesoriero (2008) yaitu perspektif ekologi dan perspektif keadilan
sosial/HAM.
Perspektif ekologis mengedepankan visi pengembangan
masyarakat yang dapat hidup dalam jangka panjang, perspektif dilandasi oleh
prinsip holisme, keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan dari lingkungan
hidup. Dengan kata lain perspektif ini lebih mengedepankan pengembangan
masyarakat yang berorientasi pada pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Selanjutanya perspektif keadilan sosial dan HAM memiliki visi dari aspek sosial
yang menginginkan sebuah masyarakat yang didasarkan atas prinsip defenisi dan penjaminan
hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang mengalahkan opresi struktural dan
keadaan yang merugikan, kebebasan menentukan kebutuhan dan terpenuhinya
kebutuhan tersebut. Perspektif pengembangan ini lebih berorientasi pada
pembangunan sosial yang lebih mengedepankan keadilan sosial.
Penggunaan dua perspektif ini dalam pembangunan
masyarakat adat Kampung Naga berdasarkan kondisi sosial budaya dan lingkungan
yang mereka miliki. Masyarakat Kampung Naga hidup di kawasan hutan konservasi
yang dikelola dengan menerapkan prinsip-prinsip perspektif ekologi disisi yang
lain keberadaan masyarakat Kampung Naga yang lebih dulu mendiami kawasan hutan
tersebut jauh sebelum ditetapkan kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan
taman nasional menjadi pertimbangan tersendiri yang harus diperhatikan. Dengan
memadukan dua perspektif pengembangan masyarakat ini diharapkan gesekan ataupun
benturan kepentingan para pihak dalam proses pembangunan dapat dihindari, yang diharapkan
justru sebaliknya yaitu akan tercipta suatu sinergi yang kuat antara para pihak
dalam pelaksanaan pembangunan sosial.
Argumen lain dari penggunaan penggabungan dua
perspektif tersebut diatas adalah munculnya konsep “komunitas” sebagai basis
dari pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat adat Kampung Naga dengan
pendekatan komunitas sangat cocok dengan pola kehidupan dan budaya mereka yang
hidup secara berkelompok atau dalam “rombong”. Masyarakat Kampung Naga hidup
dalam kelompok atau rombong yang jumlahnya tidak terlalu besar sehingga
interaksi mereka sangat solid. Rombong atau kelompok yang terdiri dari anggota
yang memiliki kekerabatan yang dekat akan menjadi identitas mereka, sehingga
mereka akan mempunyai rasa memiliki dan menjadi bagian anggota rombong dan akan
setia pada aturan dan komitmen yang berlaku dalam kelompok.
Berdasarkan perpaduan dua perspektif ini beberapa
prinsip pembangunan dipilih untuk menjadi dasar acuan dalam menyusun
kebijaksanaan dan program pembangunan sosial komunitas adat Kampung Naga.
Adapun prinsip-prinsip tersebut terdiri dari:
1. Berbasis Komunitas. Prinsip
ini mengutamakan peran kelompok (komunitas) Kampung Naga untuk turut
berpartisipasi dalam setiap proses tahapan pembangunan sehingga menimbulkan
rasa percaya diri yang tinggi dan komitmen yang lebih besar terhadap
pembangunan.
2. Keberlanjutan Sosial. Prinsip
keberlanjutan sosial dimaksudkan tidak saja dalam hal yang berkaitan dengan
pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam yang terus dapat diperbaharui
tetapi juga terkait dengan keberlanjutan sistem dan norma sosial yang berlaku
dalam komunitas adat Kampung Naga khususnya yang berkaitan dengan kelestarian
lingkungan dan sumberdaya alam.
3. Keanekaragaman. Prinsip keanekaragaman
dalam aspek ekologi dan sosial dalam kaitan mengatasi ancaman ekologis pada
budaya monokultur ataupun ancaman memaksakan keseragaman dalam segala sesuatu,
baik berupa peraturan dan kebijakan dalam sistem pengelolaan kawasan hutan.
4. Saling Percaya (Trust). Prinsip
saling percaya, mengacu kepada sikap dan perilaku untuk saling memahami;
mengerti mengenai posisi masing-masing pihak baik masyarakat Kampung Naga,
PEMDA, LSM dan para pihak yang terlibat dalam interaksi sehingga akan dapat
mengembangkan hubungan yang kokoh dan dapat diandalkan sebagai sarana untuk
memecahkan masalah dan mencapai tujuan bersama.
5. Menghargai Pengetahuan Lokal. Prinsip
ini lebih mengutamakan ide perubahan dari bawah atau pembangunan “bottom-up”
yang menghargai pengetahuan lokal, budaya lokal dan sumberdaya lokal dalam
proses pembangunan sosial.
6. Kemitraan. Prinsip yang akan
menjadi semangat para pihak (stakeholders) yang akan terlibat dalam
pembangunan sosial masyarakat Kampung Naga untuk saling membangun sinergi yang
efektif, produktif dalam menyusun rencana, pelaksanaan, dan evaluasi
pembangunan sosial masyarakat Kampung Naga sesuai dengan potensi dan kapasitas
yang dimiliki.
Selain prinsip diatas, Kementrian Sosial RI
khususnya Direktorat Pemberdayaan KAT juga telah mengembangkan prinsip dasar
pekerjaan sosial pengembangan sumber daya manusia KAT yaitu: a) Pengakuan pada harkat
dan martabat, b) Hak untuk menentukan diri sendiri, c) Kesempatan yang sama,
dan d) Tanggung jawab sosial. Selain prinsip dasar pengembangan SDM KAT ada
pula prinsip operasional dalam pengembangan KAT yaitu: a). Responsif dan
Kesesuaian; b) KAT Sebagai Aktor Utama; c) Prinsip Pengembangan Budaya Lokal;
dan d) Prinsip Keberlanjutan.
Pelaksanaan pembangunan sosial masyarakat adat Kampung
Naga dapat mengacu pada prinsip-prinsip yang telah dikemukakan diatas. Proses
perubahan sosial yang akan dilakukan terhadap komunitas Kampung Naga baik
secara individu maupun keluarga harus memprioritaskan Orang Rimba sebagai
pelaku utama perubahan tersebut dengan penyesuaian terhadap pengetahuan dan
budaya yang mereka miliki, namun demikian pihak luar tetaplah dibutuhkan
sebagai pendamping yang akan menjalankan peran fasilitator dan katalisator dalam
proses perubahan sosial dengan mengedepankan prinsip kemitraan dan kesetaraan.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa program
pemberdayaan sumberdaya manusia yang meliputi pelatihan keterampilan hidup (life
skill), pelatihan keterampilan sosial (social skill training),
peragaan lapangan (Demplot) dan penguatan ekonomi dan sosial masyarakat lokal
belum pernah dilaksanakan pada keluarga Kampung Naga di lokasi penelitian, dari
hasil wawancara pada dasarnya mereka sangat membutuhkan peningkatan kapasitas
life skill yang sesuai dengan kondisi sumberdaya alam yang ada disekitar
mereka.
STRATEGI
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SOSIAL MELALUI PENDIDIKAN
Faktor pendidikan dapat merupakan faktor penyebab
dan sekaligus dapat menjadi faktor yang disebabkan oleh perubahan sosial di
bidang lain, seperti dari bidang ekonomi dan politik. Perubahan sosial melalui
pendekatan proses pendidikan bukan merupakan perubahan yang berlangsung secara
alamiah, tetapi di dalamnya diperlukan perencanaan, kemudian dilaksanakan, dan
selanjutnya dievaluasi untuk melihat perubahan pendidikan yang terjadi dalam
satu periode. Paling tidak ada 3 pendekatan indikator yang dapat digunakan
untuk menilai keberhasilan perubahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan
pendidikan, yaitu;
1. Perubahan
input seperti tingkat alokasi anggaran yang digunakan ke dalam sektor
pendidikan;
2. Perubahan
output atau pendekatan efektivitas pelayanan, yakni dinilai dari tingkat
realisasi program-program pelayanan pendidikan dalam suatu periode;
3. Perubahan
outcomes antara lain dapat dideteksi melalui Angka Partisipasi Sekolah (APS)
dan rata-rata lama pendidikan penduduk di suatu komunitas.
Pemerintah
telah mencanangkan pendidikan gratis untuk memperluas pelayanan akses
pendidikan untuk semua anak usia sekolah namun kebijakan tersebut belum dapat
dinikmati oleh masyarakat adat Kampung Naga. Kebijakan PEMDA untuk membentuk
seksi khusus pembinaan dan pendidikan Kampung Naga pada bidang program
pendidikan non formal pada Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya belum dapat
berfungsi secara optimal memberikan pelayanan pendidikan dasar bagi komunitas
adat Kampung Naga.
Pembangunan sosial dalam bidang pendidikan dasar
merupakan suatu pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang akan memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah sosial
dan ekonomi. Pendidikan penting untuk melawan kemiskinan, pemberdayaan perempuan,
mempromosikan demokrasi dan HAM, melestarikan lingkungan, dan mengontrol
pertambahan penduduk (UNICEF 1999 dalam Hall dan Midgley, 2004).
Tujuan pembangunan sosial bidang pendidikan bagi
komunitas Kampung Naga adalah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Kampung
Naga agar dapat lebih memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan sosial
yang terjadi dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan sumberdaya
alam secara lestari. Sasaran program pendidikan Kampung Naga lebih diutamakan
kepada anak usia sekolah dan anak usia remaja, hal ini dimaksudkan agar dapat
mendorong terjadinya proses perubahan sosial. Namun demikian program pendidikan
informal diperlukan bagi kelompok orang dewasa untuk dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan hidup, dan keterampilan teknologi tepat guna dalam
pengolahan sumberdaya alam hutan.
Permasalahan di bidang pendidikan bagi masyarakat
Kampung Naga adalah rendahnya motivasi dan partisipasi untuk mengikuti proses
pendidikan, rendahnya akses mengikuti pendidikan, adanya budaya melangun,
lemahnya institusi keluarga dan masalah sosial lainnya. Untuk mengatasi
permasalahan pendidikan bagi anak usia sekolah masyarakat Kampung Naga kebijakan
yang harus diambil oleh pemerintah daerah adalah memperluas akses pelayanan
pendidikan bagi masyarakat Kampung Naga, melalui penyediaan anggaran dana
pendidikan khusus untuk masyarakat Kampung Naga dan membangun model
penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya, dan
lingkungan hidup masyarakat adat Kampung Naga.
Adapun beberapa strategi untuk melaksanakan
kebijakan tersebut yang dapat dilakukan adalah:
1. Melaksanakan
program pendidikan alternatif dengan metode dan kurikulum khusus bagi
pendidikan dasar anak usia sekolah di komunitas masyarakat Kampung Naga. Program
pendidikan ini dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama dengan berbagai
pihak yang peduli dengan pendidikan masyarakat Kampung Naga seperti LSM dan pihak
swasta.
2. Melaksanakan
pendidikan keterampilan hidup (life skill) bagi anak-anak remaja dan
orang dewasa di komunitas masyarakat Kampung Naga terutama keterampilan.
3. Meningkatkan
kapasitas pelayanan sekolah dasar dan lembaga pendidikan non formal yang
melaksanakan pendidikan bagi masyarakat Kampung Naga yang telah menetap,
khususnya yang berkaitan dengan penambahan tenaga guru dan penyusunan program
khusus penunjang pelaksanaan proses belajar mengajar.
4. Mengembangkan
kemitraan dengan pihak swasta dan LSM dan komunitas dalam menyusun program
pendidikan bagi masyarakat adat masyarakat Kampung Naga.
Berdasarkan strategi yang telah dipaparkan dapat
dilaksanakan beberapa program sebagai berikut:
1. Program
identifikasi dan pendataan jumlah anak usia sekolah dan usia remaja di setiap
kelompok masyarakat Kampung Naga.
2. Program
Sekolah alam bagi anak usia sekolah dengan kurikulum yang digali dari kearifan
budaya masyarakat Kampung Naga dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan modern.
3. Program
pelatihan keterampilan hidup (life skill) khususnya yang berkaitan dengan
kondisi lingkungan hidup masyarakat Kampung Naga.
4. Program
pelatihan teknologi budidaya tanaman dan hewan-hewan hutan.
5. Program
Beasiswa Pendidikan bagi anak-anak Orang Kampung Naga.
REFERENCES
Archer, L., The Impossibility of
Minority Ethnic Educational 'Success'? An Examination of the Discourses of
Teachers and Pupils in British Secondary Schools. European
Educational Research Journal 7(1),
pp. 89-107, 2008.
Bruce J.
Cohen. 1992. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Gaine, C., Race, Ethnicity
and Difference versus Imagined Homogeneity within the European Union. In: European
Educational Research Journal 7(1), pp. 23-38, 2008.
Hanushek,
E. A., Jamison, D. T., Jamison, E. A. and Wobmann, L. Education and economic
growth: it’s not just going to school but learning that matters. Education Next, Vol. 8, No. 2, pp. 62–70. 2008.
Jacobus
Ranjabar. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia.
M.J.
Langeveld, F. Bacher, H. Aebli. Paedagogica
Europaea: the European yearbook of educational research (Council of
Europe: 2007). hal 21.
Moh. Shofan. 2007. The Realistic Education. Jogjakarta:
Ircisod.
Syamsul Ma’arif. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta:
Logung Pustaka.
Taufik
Abdullah. 2005. Pemuda Dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar 9 tahun.
Pasal 1 poin 1.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar 9 tahun.
Pasal 2 poin 1 dan 2.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar 9 tahun.
Pasal 3.
UNESCO. Education
and Skills for Inclusive and Sustainable Development Beyond: Thematic Think
Piece. Paris, UNESCO. (Prepared by UN System
Task Team on
the Post-2015 UN Development Agenda).
2015.
World Bank. 2011.. Learning For All: Investing in People’s Knowledge and
Skills to Promote Development – World Bank Group Education Strategy 2020. Washington, DC, World Bank.
Sumber Lain:
azizmiftahurrizky.blogspot.com/.../pendidikan-kampung-naga.html
Komentar
Posting Komentar