Globalisasi dan SDM di PT. Coca-Cola

Perusahaan Coca-Cola merupakan salah satu perusahaan multinasional yang sukses. Dengan cabang- cabang mendekati 200 negara dan lebih kurang 80 % lebih pendapatannya datang dari bisnis di luar Amerika, Coca Cola diterima sebagai perusahaan global. Bagaimanapun Coca cola, cenderung menggambarkan dirinya sebagai perusahaan “multi-lokal” seperti yang terjadi pada kantor pusat di Atlanta tetapi kantor pusatnya dapat berada dimana-mana yang menghadirkan image Coca cola dengan “wajah local” disetiap Negara tempat mereka berbisnis. Philosophy Coca cola adalah “berpikir global dan bertindak lokal” yang menggambarkan mentalitas manajemen coca cola. Strategi bisnis utama Coca cola adalah kebebasan meniru operasional yang cocok sesuai dengan tingkah laku dari pasar sasaran. Pada saat yang sama, perusahaan mencoba membangun pola pikir yang sama tentang pembagian karyawan. Coca cola mengatur operasi globalnya melalui 25 divisi operasi yang terorganisasi dibawah 6 kelompok regional: Amerika Utara, Eropa, Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Fungsi perusahahaan manajemen sumber daya manusia adalah menyatukan semua divisi yang berbeda kedalam keluarga Coca cola. Pencapaian manajemen sumber daya manusia perusahaan dengan dua cara: 1. Mempropagandakan philosophi umum sumber daya manusia diantara perusahaan. 2. Membangun kelompok internasional level eksekutif untuk tanggung jawab manajemen senior dimasa datang. Salah satu misi kelompok sumber daya manusia perusahaan dengan membangun dan mendirikan sebuah philosopi di seluruh dunia yang mana bisnis lokal dapat membangun pelatihan sumber daya manusianya. Contohnya, untuk mendapatkan kebijakan standar kompensasi untuk semua operasi nasional, coca cola memiliki philosopi kompensasi yang sama, total kompensasi harus kompetitif dengan perusahaan terbaik di pasar lokal. Dua kali setahun kelompok manajemen sumber daya manusia perusahaan juga menerapkan sesi pelatihan manajemen sumber daya manusia dua kali seminggu untuk staff sumber daya manusia dari setiap 25 divisi operasional. Sesi ini memberikan gambaran dari philosopi manajemen sumber daya manusia perusahaan dan membicarakan bagaimana bisnis lokal bisa mengartikan philosopi itu pada kebijakan manajemen sumber daya manusia. Coca cola menemukan bahwa pembagian informasi adalah salah satu keuntungan yang baik dari membawa manajemen sumber daya manusia professional secara bersama-sama. Contohnya, alat-alat yang dikembangan di Brazil cocok dengan masalah spesifik dari manajemen sumber daya manusia yang mungkin berguna juga di Australia. Sesi ini menyediakan sarana untuk manajemen sumber daya manusia profesional berkomunikasi dan belajar satu sama lain, dan memfasilitasi tukar informasi yang cepat dari inovasi dan alat nilai-nilai manajemen sumber daya manusia dari regional ke regional. Sebanyak mungkin, coca cola menjalin hubungan antara staff operasionalnya dengan staff lokal. Menurut seorang eksekutif senior: “kami mencoba membatasi jumlah dari expatriat di suatu wilayah karena umumnya orang lokal mempunyai persiapan yang lebih baik untuk melakukan bisnis di tempat lokasi mereka sendiri.” Bagaimanapun, expatriat lebih dibutuhkan karena dua alasan utama: pertama, untuk mengisi kebutuhan skill yang spesifik yang mungkin tidak ada di beberapa lokasi. Contohnya: ketika coca cola memulai operasi di Eropa Timur, mereka membawa ekpatriat dari Chicago untuk mengisi manajer keuangan. Alasan kedua, dengan menggunakan expatriat untuk meningkatkan kemampuan dasar mereka sendiri. Coca cola percaya bahwa karena mereka perusahaan global, manajer-manajer senior harus memiliki pengalaman internasional. Kelompok manajemen sumber daya perusahaan memiliki lebih kurang lima ratus manajer level atas yang terlibat dalam “program pelayanan global” karakter dari manajer Coca cola ini sebagai seorang yang memiliki pengetahuan atas beberapa pengalaman mereka di lapangan, ditambah pengetahuan tentang perusahaan, dan bisa melakukan dua hal di suatu lokasi internasional, nilai tambah lainnya dengan pengalaman internasional yang mereka bawa ke perusahaan mereka dapat membagi informasinya di perusahaan. Dari 500 peserta program, sekitar 200 orang pindah setiap tahun. Untuk mengurangi biaya transfer untuk karyawan ini, Coca cola memberikan program pelayanan global “sistem kompensasi dasar Amerika”. Mereka dibayar menurut standar gaji dari Amerika, berlawanan dengan standar gaji yang ditetapkan di Negara dimana mereka ditempatkan. Seperti, seorang manajer india pada program ini yang bekerja di Inggris akan dibayar menurut standar gaji Amerika dan tidak menurut standar gaji India maupun Inggris. Tujuan utama dari program ini adalah membangun kader-kader eksekutif internasional yang akan menjadi manajer senior dimasa akan datang pada perusahaan Coca Cola. Analisa Kasus Membangun sebuah perusahaan multi regional seperti coca-cola sangatlah susah. Masalah umum yang dihadapi oleh setiap perusahaan adalah mengelola sumber daya manusia. Terlebih lagi perusahaan seperti coca-cola yang memiliki ribuan SDM yang tersebar di berbagai Negara. Tulisan ini merupakan refleksi tentang kepemimpinan global, terutama guna mengembangkan sudut pandang mengenai faktor-faktor keberhasilan yang paling penting dan dibutuhkan untuk mengembangkan pola pikir (mind-set) kepemimpinan global. Dalam kaitan ini, strategi global organisasi bisnis perlu ditunjang oleh pengembangan kepemimpinan global pula. Karena dalam praktik, seseorang yang memiliki “pengalaman global” di tempat kerja belum tentu menjamin dimilikinya kepemimpinan global yang efektif. Dengan demikian, pengembangan pola pikir global diharapakan akan mewujudkan efektivitas kepemimpinan dalam kapasitas global. Meningkatnya kompleksitas budaya dan bisnis dengan sendirinya akan menuntut permintaan akan pola pikir global. Banyak orang berpendapat, bahwa seseorang telah cukup memenuhi syarat memegang kendali kepemimpinan global jika ia pernah tinggal di lebih satu negara, sering bepergian ke negara-negara lain, fasih berbicara lebih dari satu bahasa, berpengalaman mengelola suatu tim kerja, pernah bertugas dalam hubungan internasional dan mengenyam pendidikan di luar negeri. Tentu saja persyaratan tersebut belum cukup, meskipun sebagian mungkin telah memadai sebagai persyaratan “go-internasional”. Pusat-pusat kegiatan ekonomi akan terus bergeser, bukan hanya secara global, tetapi juga di tingkat regional. Dunia perlu menata kembali kegiatan ekonomi. Sebagai konsekuensi dari liberalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, perkembangan pasar modal, dan pergeseran demografis, dewasa ini kawasan Asia (belum termasuk Jepang) menyumbang sekitar 15 persen terhadap PDB dunia, sementara Eropa Barat telah menyumbang kurang lebih 30 persen. Prediksi 20 tahun ke depan, kedua kekuatan tersebut akan berhadapan. Pergeseran ini bukan melulu tentang kisah gelombang Asia, namun pergeseran ini akan terjadi di seluruh kawasan dunia. Menurut Thomas Friedman, dalam bukunya The World Is Flat (2005) bahwa dunia telah menjadi semakin rata atau datar. Menurutnya revolusi teknologi telah menjadikan dunia sebagai “lapangan bermain ekonomi” yang memungkinkan begitu banyak orang di seluruh dunia saling bersaing, saling berhubungan, dan berkolaborasi yang mengantar kita ke sebuah babak baru globalisasi yang akan memiliki dampak dahsyat pada peristiwa-peristiwa ekonomi, politik, militer, dan sosial-budaya. Oleh karena itu, melakukan bisnis di dunia baru akan memerlukan jenis kepemimpinan yang berbeda daripada kepemimpinan jenis sebelumnya. Tentu seseorang masih akan membutuhkan keterampilan kepemimpinan tradisional, namun lebih daripada itu dibutuhkan tambahan pengetahuan, keterampilan dan seperti telah disebutkan tadi dibutuhkan pola pikir baru untuk menavigasi kompleksitas bisnis global yang akan dibawanya bergerak melaju melintasi batas pola pikir tradisional. Beberapa penelitian tentang persyaratan pemimpin global baru bisa dirujuk, yaitu diperlukan beberapa jenis keterampilan, pengalaman dan perspektif baru yang diperlukan untuk mempersiapkan orang mengarungi tantangan kepemimpinan global. Sementara untuk mencapai sukses, seorang CEO global harus berpikir dalam jangka menengah sampai jangka panjang dalam perspektif dan visi lintas batas. Pendeknya, kita hidup di dunia yang ditandai dengan kecepatan, kompleksitas dan paradoks. Perubahan yang terjadi secara eksponensial menuntut kita untuk memahaminya dengan cara berfikir non-linear atau sirkuler. Paradoksnya adalah bahwa kemajuan teknologi dan kebijakan liberalisasi telah menciptakan peluang dalam lingkungan bisnis global, dilain pihak terbukanya peluang telah menciptakan rasa kerentanan yang mendorong kita merasa terasing. Teknologi telah mengubah konektivitas dan akan terus mengubah cara orang hidup dan berinteraksi. Medan perang untuk perebutan talenta akan terus berlangsung. Baik bisnis swasta maupun sektor publik akan mengembangkan strategi ketenaga kerjaan berbasis talenta global, yakni suatu sumber daya yang tidak kalah pentingnya dengan strategi manufaktur. Revolusi teknologi tidak hanya berhenti sampai disitu, namun telah memaksa adaptasi perilaku manusia secara seketika, dimana berbagai komunitas terbentuk dan saling berhubungan dengan cara baru dan berbeda, maka transisi seperti inilah yang seringkali menciptakan rasa keterasingan. Pergeseran berkelanjutan dalam perburuan talenta manusia akan jauh lebih besar ketimbang laju migrasi tenaga kerja yang mengarungi lintas batas negara. Namun bagaimanapun harus diakui, terjadinya integrasi pasar tenaga kerja global, telah membuka ruang sumber talenta tenaga kerja baru secara lebih luas. Model bisnis tradisional dan non-tradisional sering hidup berdampingan dalam ruang pasar yang sama. Perbatasan ruang gerak cakupan bisnis dalam kenyataannya menjadi kabur karena adanya tumpang tindih dalam satu “ekosistem” berkenaan dengan pemasok, produsen, dan pelanggan. Dan ini telah menuntut penggunaan alat-alat baru untuk menjalankan dan mengelola roda bisnis global. Dengan sendirinya hal ini akan menuntut pendekatan manajemen baru dalam organisasi atau kelembagaan berskala mega yang lebih layak. Mau tidak mau, para pemimpin bisnis saat ini perlu mengadopsi teknik pengambilan keputusan algoritmik dan menggunakan perangkat lunak yang sangat canggih untuk menjalankan organisasi mereka. Dengan demikian, organisasi pemenang dalam struktur industri global yang baru, harus mampu melakukan efisiensi dari munculnya struktur industri yang baru, dan mampu memanfaatkan transformasi tersebut. Dengan kata lain, populasi dunia akan mengalami penuaan, sehingga untuk menghasilkan tenaga kerja muda baru yang terampil akan relatif terbatas dan langka di masa depan. Distribusi dan redistribusi penduduk akan cepat berubah, sehingga persoalan tenaga kerja global bertalenta telah menjadi realitas persoalan mengemuka pada saat ini. Sumber tenaga kerja internasional merupakan upaya untuk menutupi kekurangan tenaga kerja lokal. Dunia memang telah menjadi datar karena peningkatan yang signifikan dalam hal teknologi, transportasi dan adanya saling ketergantungan dalam ekonomi global. Terdapat 5 (lima) aspek penting yang dapat diidentifikasi tentang keterampilan kepemimpinan global, yakni: 1. Berpikir secara global; 2. Menghargai keragaman budaya; 3. Mengembangkan teknologi pintar; 4. Membangun kemitraan dan aliansi, dan 5. Berbagi ilmu tentang kepemimpinan. Kelima hal tersebut tentunya perlu ditopang oleh keterampilan kepemimpinan secara umum dan keseluruhan, diantaranya kemampuan dalam mengelola perubahan, pemikiran strategik, pengambilan keputusan, mengelola tim kerja, pengelolaan hasil dan seterusnya. Keterampilan kepemimpinan yang umum mungkin mudah untuk ditransfer ke dalam konteks kepemimpinan global, namum orang yang memiliki keterampilan kepemimpinan yang efektif dalam lingkup domestik belum tentu memiliki kepemimpinan yang efektif pula dalam setting lingkungan global. Untuk menjadi efektif dalam kepemimpinan global, maka diantaranya harus mampu menyeimbangkan tiga dikotomi di bawah ini: 1. Formalisasi global versus fleksibilitas lokal Pendekatan formal diperlukan untuk menyatukan organisasi dimata pelanggan sehingga mereka tahu apa yang diharapkan dari merek global, namun memanifestasikan merek global secara lokal mungkin harus berbeda. Misalnya organisasi perlu membuat kemasan yang berbeda agar produk lebih akrab dengan kebiasaan dan harapan masyarakat setempat tanpa harus mengubah citra merek globalnya. 2. Standardisasi global vesrus kustomisasi lokal Agar protokol dan proses bisnis dapat berjalan, diperlukan penerapan yang fleksibel tentang cara yang perlu diterapkan pada tingkat lokal berdasarkan tuntutan kebutuhan lokal. Sebagai contoh, karena adanya tuntutan dari regulasi lokal, maka beberapa makanan dan spesifikasi jenis obat tertentu perlu diracik dengan cara berbeda, asalkan tidak pernah membahayakan fisik dan jiwa para konsumen. 3. Doktrin global versus pendelegasian lokal Cara melakukan bisnis global mungkin perlu seragam, akan tetapi implementasi secara lokal perlu didelegasikan sesuai dengan kebiasaan yang ada. Meskipun adanya tuntutan dari kebiasaan lokal yang bisa ditoleransi sepanjang hal tersebut tidak melanggar hal prinsipil dari nilai-nilai organisasi. Salah satu contoh yang sangat baik adalah apa yang dilakukan oleh McDonalds, yang memperbolehkan cabang di negara-negara lain untuk menciptakan praktik bisnis, misalnya: tawaran roti dengan rasa dan kemasan mereka sendiri untuk melayani selera pasar lokal. Tanpa pendekatan yang seimbang, organisasi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal secara efektif. Singkatnya, pola pikir kepemimpinan global adalah kemampuan untuk mengambil pandangan global dan mampu menerapkan perspektif tersebut ke negara lain, dengan mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Dalam dunia yang semakin mengecil seperti saat ini, lalu lintas manusia untuk bepergiaan antar negara menjadi hal biasa dan rutin, oleh karenanya “kecerdasan budaya” akan menjadi bakat dan keterampilan yang sangat penting. Seseorang dengan kecerdasan budaya yang tinggi dapat memilih fitur-fitur unik dari perilaku individu atau kelompok dari budaya dan etnik yang berbeda. Secara intuitif dan cepat mereka mampu mengidentifikasi keunikan dari masing-masing individu dan kelompok dengan spontan. Oleh karena itu para pemimpin golabal dituntut untuk “melek budaya” agar tidak terjebak oleh stigma umum yang sudah meluas terhadap ‘kapitalisme global” dalam konotasi negatif. Pendekatan multi-dimensi adalah cara yang paling efektif untuk mengembangkan kepemimpinan global yang efektif. Beberapa hal terlebih dahulu perlu dikembangkan untuk menjadi pemimpin global yang efektif, diantaranya adalah dengan menperhatikan perihal berikut ini: 1. Mengenal kemampuan yang dimiliki diri sendiri Mengenal kemampuan yang dimiliki diri sendiri merupakan kata lain dari introspeksi dan kesadaran diri. Hal ini adalah langkah pertama untuk mengembangkan para pemimpin global sehingga mereka bisa mendapatkan perspektif akurat tentang diri sendiri, yang pada gilirannya bersedia menambah pengetahuan dan wawasan perihal aspek budaya. Mereka perlu mengetahui dimana mereka berada dan pada kontinum pengetahuan dan keyakinan yang baik, sehingga mereka bisa lebih fokus pada pengembangan pengetahuan mereka dan memahami kekurangan relatif mereka. 2. Pendidikan yang telah ditempuh Yang dimaksud dengan pendidikan dalam konteks ini adalah merubah cara berpikir tentang globalisasi, budaya dan kepemimpinan. Artinya fokus pendidikan lebih ditujukan pada konten dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi efektif dalam pengaturan dan pengelolaan global. Pemimpin perlu memahami fakta tentang budaya, prosedur bisnis, informasi lokal berkenaan dengan praktek adat istiadat yang berbeda-beda di setiap negara, baik dari sudut pandang sosial maupun bisnis. Mereka perlu dididik tentang hal ini dan informasi ini dapat dengan mudah diboyong melintasi perbatasan negara. 3. Pengalaman yang telah dilalui Pengalaman berkaitan dengan learning by doing. Pengalaman sering dikatakan sebagai guru terbaik, dengan syarat pengalaman tersebut diperoleh dari pembelajaran melalui pengalaman yang bermakna, relevan dan layak diterapkan. Sehingga diperoleh pembelajaran dan manfaat tentang bagaimana organisasi melakukan bisnis di bagian dunia lain. 4. Kemampuan untuk mengimplementasikan Kemampuan untuk mengimplementasikan dalam hal ini dilakukan melalui proses interaksi dengan berfokus pada orang dan peran, sehingga mampu bersosialisasi dengan cepat. Artinya, seseorang tidak hanya mampu mempelajari budaya, melainkan juga mampu “mengalami” budaya tersebut dengan baik. Para pemimpin yang tinggal di luar negeri, secara langsung harus menunjukkan kompetensi mereka, terutama dalam hal menyambut orang asing, berbahasa asing, menjalin kehangatan, menghargai perbedaan dan kepekaan terhadap konteks lokal. Tentu saja hal paling penting yang perlu pemimpin lakukan, seperti disebutkan di atas, adalah terus-menerus belajar dari pengalaman, baik ketika dirinya terlibat dalam partisipasi gugus tugas atau team work, interaksi dengan atasan, rekan-rekan sekerja ataupun ketika berhubungan dengan para mentor atau nara sumber. Mereka juga secara proaktif perlu mempelajari bahasa dan adat istiadat negara setempat, dimana ia harus berpartisipasi dalam berbagai pertemuan yang beragam, berkomunikasi dengan berbagai kelompok pemimpin bisnis, tokoh masyarakat dan pejabat, serta sanggup membenamkan diri dalam budaya lain yang sering dikunjungi dan ditempati. Tentu saja hal ini bukan sekedar untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan global semata, akan tetapi juga untuk mengembangkan agenda stratejik global agar menjadi organisasi yang benar-benar global. Diantaranya dengan memberi kejelasan tentang keterampilan strategik jenis apa yang dibutuhkan oleh eksekutif global, sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi, merekrut dan menilai calon sedini mungkin, dan memberikan perspektif internasional tentang paparan tugas dan karir. Organisasi juga harus mampu memfasilitasi asimilasi antar budaya dengan memberikan dukungan dan umpan balik, menciptakan kesempatan untuk refleksi, mengembangkan budaya terbuka yang dibangun diatas landasan hubungan pribadi, mengembangkan loyalitas tim kerja dan tim kepemimpinan yang beragam, serta menyediakan akses pada program pelatihan yang dipimpin oleh para pelatih panutan yang berpengalaman internasional. Pertanyaannya kemudian adalah apa arti dari paparan diatas bagi kepentingan baik organisasi maupun kepemimpinan global? Pembelajaran pertama adalah, bahwa visi organisasi beserta nilai-nilainya harus menunjukkan konsistensi global. Namun, visi tersebut harus bisa diterjemahkan ke dalam praktek dan prosedur sehari-hari yang ditentukan melalui kebijakan lokal. Suatu konsistensi global perlu didukung oleh formalisasi, standardisasi dan doktrin global, sedangkan kebijakan lokal perlu didukung oleh fleksibilitas, kustomisasi dan delegasi. Pembelajaran kedua, sebuah pola pikir global dapat menjadi faktor keunggulan baru dalam persaingan pasar, sehingga organisasi global sangat memerlukan cadangan yang tinggi berkenanan dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dengan pola pikir global! References Affif, Faisal, Prof. 2013. Mindset dalam Kepemimpinan Global. Diakes dari http://fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/239036-mindset-dalam-kepemimpinan-global tanggal 08 Maret 2016. Senyucel, Zorlu. 2009. Managing the human resources in the 21st century. Swedish: Ventus Publishing ApS.

Komentar

Postingan Populer