Manfaat Program BPPDN untuk Capacity Building dari pandangan Ekonomi

A. Pendahuluan Pendidikan dalam pandangan tradisional tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat. Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investment) telah berkambang secara pesat. Pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investment in human capital” di hadapan The American Economic Association merupakan posisi dasar teori human capital modern. Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini. Saat ini, diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya, pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif. Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investment) telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap Negara bahwa pembangunan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak zaman Adam Smith (1776), Thunen (1875) dan para teoritis klasik lainnya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investment in human capital” merupakan letak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Tulisan ini akan memberikan analisa mengenai balikan pendidikan dari sisi ekonomi dan kontribusi beasiswa kemenristek dikti sebagai sebuah upaya membangun kapasitas diri para dosen khususnya manfaat dari sisi ekonomi (good earning). B. Nilai Balikan Pendidikan Pengembangan mutu SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap partumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata- mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return). Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada negara- negara lain. Telah digambarkan juga bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara petani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara- negara berpendapatan rendah menunjukkan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan tetap kurang. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980). Peranan wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi ini menunjukan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh lagi, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi dalam berbagai sektor pembangunan lainnya . Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Develop- ment Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen. Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita akan mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”. C. Nilai Ekonomi Pendidikan Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Pro- fesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti dimuat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan oleh Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang diperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia. Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu. Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan. Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960- 1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya. Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara- negara berkambang juga tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika, antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara- negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho. Kebanyakan Negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrim dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertum- buhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan seperti itu seharusnya jauh lebih besar. Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan tentang fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13. Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan, meningkatnya produktivitas para pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil. Masalahnya, asumsi demi- kian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat atau hasil dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum sepenuhnya memberikan manfaat terhadap pertumbuhan dan pemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin. Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini. Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar. Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga menjadikan mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah. Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lainnya. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi. D. Intervensi Ekonomi Secara Spesifik pada Pendidikan Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati. Bentuk kehati-hatian ini adalah tidak terjebak untuk mengikut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besarnya, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski ke- banyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan coefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu. Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian obat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana. Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterak secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar. Menurut Mohamad Ali (2005), Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi pada pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4. Investasi di bidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelatihan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses kerja, pendidikan merupakan kontribusi industri ekonomi, budaya dari lintas sektoral yaitu tenaga dan sebagainya. E. BPPDN dan Nilai Balikannya Undang-Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kualifikasi akademik minimum bagi dosen adalah lulusan program magister untuk program pendidikan diploma dan sarjana, dan lulusan program doktor untuk program pendidikan pascasarjana. Peraturan Menteri PAN No.17 tahun 2013 mengamanatkan bahwa kenaikan jabatan akademik dosen untuk menjadi Lektor Kepala atau Profesor harus memiliki ijazah Doktor (S3) atau yang sederajat. Selanjutnya, amanat Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 menetapkan bahwa: (1) dosen berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya secara terus menerus; dan (2) mereka yang sederajat berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, mendapatkan akses ke sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Berdasarkan data PD Dikti 2016 menunjukkan terdapat 190 ribu dosen tetap, 29 ribu masih berkualifikasi S1, sekitar 122 ribu berkualifikasi strata Magister (S2), dan sekitar 24 ribu berkualifikasi Doktor (S3). Untuk memenuhi target Rencana Strategis Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) 2015-2019, yakni pada akhir tahun 2019 diharapkan sebanyak 41.500 dosen telah berkualifikasi S3, oleh karena itu diperlukan suatu upaya yang sistematis dan berkelanjutan, terutama dalam penyediaan kesempatan studi lanjut, termasuk penyediaan beasiswa. Menghadapi tantangan di atas, Direktorat Kualifikasi Sumber Daya Manusia, Direktorat Jenderal Sumber Daya IPTEK dan DIKTI, Kemristekdikti bertugas menyusun program-program percepatan peningkatan kualifikasi dosen perguruan tinggi Indonesia. Salah satu program tersebut adalah penyediaan beasiswa pendidikan pascasarjana di dalam negeri telah berlangsung sejak 1976 (dahulu bernama BPPS), sementara beasiswa pendidikan pascasarjana di luar negeri telah dilaksanakan sejak 2008. Pada tahun 2016 ini, Direktorat Jendral Sumber Daya IPTEK dan DIKTI, Kemristekdikti, bekerjasama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), menyediakan program Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) bagi para dosen perguruan tinggi di lingkungan Kemristekdikti untuk menempuh program pascasarjana baik di luar maupun di dalam negeri. Kerjasama ini diharapkan mampu mempercepat pencapaian target dosen berkualifikasi S3 pada perguruan tinggi sesuai Renstra Kemristekdikti 2015-2019. Mempelajari peran beasiswa bagi dosen merupakan suatu hal yang penting bagi insan akademisi, terkhusus bagi akademisi Indonesia. Mengapa demikian adalah karena beasiswa dosen memiliki peran dan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan perekonomian di Indonesia. F. Kesimpulan Dari paparan-paparan di atas, disimpulkan beberapa hal terkait topik dalam tulisan ini bahwa: 1. Pendidikan yang diselenggarakan dalam berbagai bentuk; formal dan informal berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa. Pertumbuhan tersebut dikarenakan karena pendidkan meningkatkan keterampilan dan nilai jual seseorang sehingga berimplikasi pada produktifitas kerja. 2. Penyaluran beasiswa dosen (BPPDN) meningkatkan daya akses pendidikan para dosen untuk mengembangkan kapasitas diri. Kualifikasi yang diperoleh dari studi lanjutan para dosen diaplikasikan pada pengembangan sikap professional, kredibilitas dan karir dosen sehingga berdampak pada siswa ekonomi (financial) G. DAFTAR PUSTAKA Ali Ghufron Mukti. (2015). Buku Panduan Beasiswa Dalam Negeri 2016. Jakarta: Kemenristek dikti. Becker G.S. (1993). Human Capital, A theoretical and Empirical Analysis with Special reference to Education. Chicago: University of Chicago Press Cohn, Elchanan. (1979). the Economics of Education. Ballinger Publishing. Engkoswara. (2002). Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung: Yayasan Amal Keluarga. Dodi Nandika. (2005). Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung: UPI Fattah, Nanang. (2000). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya Jac Fitz-enz. (2000). The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance. New York: Amacom. Joseph Stiglitz. (2004). Economy Growth and Education Policy. Kompas 15-12-2004: Jakarta. Nasir Program Studi Administrasi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Kendari nasir@umkendari.ac.id

Komentar

Postingan Populer