Dinamika Pemilihan Rektor PTM

Tulisan ini di dahului dengan mengutip tulisan Haedar Nashir di Suara Muhammadiyah edisi 15 Februari 2011. Dalam penilaiannya, masih terdapat beberapa masalah empirik dalam kepemimpinan kader pada berbagai amal usaha muhammadiyah termasuk sisi penyelenggaraan pendidikan tinggi, antara lain; pertama, kurang optimalnya keaktifan sebagian anggota pimpinan dalam berkiprah mengurus organisasi dan menjalankan tugas-tugas Persyarikatan yang menjadi beban amanat pimpinan setelah terpilih di forum musyawarah, yang sering disebut sebagai masalah klasik dalam Muhammadiyah. Kedua, komunikasi antar anggota dan lini kepemimpinan yang menyebabkan organisasi menjadi kurang produktif. Ketiga, masih terdapat kelemahan dalam struktur kepemimpinan termasuk fungsi-fungsi tugas dan job struktural dalam kepemimpinan Persyarikatan yang memerlukan penyempurnaan atau perubahan. Keempat, sistem pemilihan yang dianggap kurang fleksibel dan dinamis dalam formatur yang ketat baik untuk tingkat Pusat terlebih lagi pada level daerah. Kelima, idealisasi dan ketegangan dalam memilih figur pemimpin “politik” dan “kultural”, pemimpin “karismatik” dan “administratur”, pemimpin “ulama” dan “cendekiawan” sebagai pemimpin Muhammadiyah. Keenam, masalah kaderisasi pimpinan antara proses alamiah dan pendidikan/kaderisasi, bahkan yang melalui “jalan tol”. Ketujuh, masalah aktualisasi kepemimpinan dari orientasi teknis dan rutin kekepemimpinan transformasional dalam menjawab tantangan perubahan. Pada pembahasan selanjutnya, pandangan-pandangan tersebut akan dihubungkan dengan apa yang terjadi di PTM, serta mendasarkannya pada literatur-literatur yang relevan. Pada proses pemilihan rektor, banyak yang nampak nampak upaya penjegalan yang dilakukan untuk menggugurkan kelayakan beberapa calon. Banyak spekulasi yang didengungkan agar kapastitas calon tertentu semakin melambung. Praktek demikian, mumukul prinsip sebuah elektaliasasi yang selama ini menjadi roh muhammadiyah. Seperti yang dikatakan pimpinan pusat muhammadiyah pada sebuah ceramahnya bahwa kepemimpinan Muhammadiyah yang menganut sistem kolegial didukung dengan struktur otoritas yang berada pada lembaga rapat atau musyawarah dan regulasi organisasi yang permanen. Namun, prinsip kolegial tersebut digunakan sebagai senjata yang dilepaskan secara brutal tanpa perhitungan dan strategi cerdas. Skenario itu pun terus berlanjut hingga saat ini, jika beberapa perguruan tinggi ternama memasang profil-profil berkualifikasi tinggi di posisi-posisi strategis institusi, maka pimpinan terpilih tetap terlena dengan jerat pikiran-pikiran klasik yang jauh dari realistis dan logis. Mekanisme pemilihan rektor seharusnya mengacu pada panduan pimpinan pusat muhammadiyah tentang perguruan tinggi muhammadiyah terbagi menjadi beberapa tahapan. Rapat Senat I, Rapat Fakultas dalam rangka penjaringan bakal calon (balon) rektor, Rapat Senat II, permohonan rekomendasi PWM, Rapat Senat III, Rapat Senat IV, Pengusulan nama calon rektor ke PP Muhammadiyah, dan Rapat Senat terbuka. Pada tahap pertama, bersama dengan anggota senat yang lain telah membentuk panitia pemilihan, menetapkan syarat, dan tata cara pemilihan Rektor dalam Rapat Senat I. Kriteria yang dihasilkan dari rapat tersebut diantaranya beragama Islam, Kader uhammadiyah, dan profesional. Syarat khusus untuk dosen tetap dengan masa kerja minimal 10 tahun, Pendidikan minimal S-2, memiliki jabatan akademis minimal Lektor, dan pernah menduduki jabatan struktural di lingkungan unit kerja minimal ketua Program Studi. Sedangkan bagi praktisi dengan pendidikan minimal S-2, pernah mempunyai pengalaman di perguruan tinggi, dan mempunyai reputasi di tingkat nasional. Moment pergantian rektor menarik perhatian semua civitas akademik untuk memberikan komentar. Terkait dengan hal tersebut, tidak berbeda antara pengamatan pribadi penulis dengan orang lain bahwa terdapat sistem yang tidak sehat dalam proses pemilihan tersebut. Profil pimpinan terpilih, gaya kepemimpinan, kemampuan manajerial, pemberdayaan sumber daya institusi tidak secara maksimal, dan orientasi mutu tidak konsisten menjadi sorotan publik dan catatan-catatan yang muncul, ditambah lagi proses pemilihan menunjukkan ketidak- mampuan para pimpinan wilayah menterjemahkan prinsip-prinsip yang dianut oleh muhammadiyah. Perguruan tinggi hakikatnya adalah lembaga instutusi pendidikan tinggi yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena perguruan tinggi bertindak sebagai organisasi yang didalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan, sedang bersifat unik menunjukkan bahwa organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya. Ciri-ciri yang menempatkan perguruan tinggi memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan umat manusia. Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebutlah, perguruan tinggi sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Pemberdayaan adalah alat penting dan bernilai dalam memperbaiki, memperbaharui dan meningkatkan kinerja organisasi pendidikan. Pemberdayaan menjadi penting dan bernilai karena pemberdayaan sumber daya dalam institusi akan memberikan “daya yang lebih” daripada daya sebelumnya terhadap berbagai hal seperti: unsur-unsur dalam manajemen, komponen-komponen organisasi, kompetensi, wewenang dan tanggungjawab dalam manajemen tersebut. Pemberdayaan sumber daya yang dimaksudkan dalam hal ini adalah memberikan “daya” (energi atau power) yang lebih daripada sebelumnya, artinya dapat ditunjukkan dalam hal: tenaga, daya, kemampuan, kekuatan, keberadaan, peranan, wewenang dan tanggungjawab. Dalam organisasi apapun, pemberdayaan perlu diperhatikan karena itu akan menentukan dan mengembangkan kepercayaan terhadap seseorang. Bagi pemberi tugas, fungsi atau kewenangan terhadap seseorang tidaklah mudah dan tidak dapat disamakan dengan kegiatan sedekah atau amal, akan tetapi dilandasi dengan berbagai pertimbangan atau faktor-faktor seperti kejujuran, kebaikan, kemampuan, reputasi, prestasi dan pengalamannya. Selanjutnya bagi penerima tugas, fungsi dan kewenangan, rasa percaya kepada diri sendiri didalam mengimplementasikan kewenangan yang diberikan kepadanya Keberhasilan sebuah perguruan tinggi sangat tergantung pada reaksi positif yang diperlihatkan oleh semua komponen institusi. Reaksi positif tersebut akan lahir ketika pimpinan mampu memerankan fungsinya dengan arif. Seperti menarik garis pada sebuah kanvas, lukisan akan terlihat indah jika diisi dengan warna-warna yang pas dan variatif sehingga tercipta gradasi-gradasi warna yang menarik perhatian. Membangun kekuatan institusi bisa dilakukan dengan cara menstimulasi kreativitas bawahan sehingga muncul pikiran-pikiran inovatif. Kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan akan menjadi sebuah motivasi yang sangat besar untuk melahirkan pikiran-pikiran inovatif tersebut. Kepercayaan menjadi bagian dari penyelenggara lembaga harus merata, tidak membeda-bedakan, dan terencana. Doktrin budaya ataupun kebiasaan-kebiasaan klasik harus ditekan sekuat mungkin dengan mengedepankan orientasi pada menghadirkan jaminan mutu bagi pengguna lembaga. Dalam sejarahnya, beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) maju seperti Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta atau PTM lainnya yang selalu menjadi topik pembicaraan di media karena prestasi mereka, besar karena sikap “open minded”. Keterbukaan itu diwujudkan dengan penerapan pola rekuitmen dan pemberdayaan sumber daya secara maksimal dan profesional. Kerjasama dengan individu atau institusi berkualifikasi manapun terbuka sangat lebar. Mengutip pandangan Hersey dan Banchard tentang teori kepemimpinan situasional mengatakan bahwa keberhasilan seorang pemimpin adalah buah dari mengintegrasikan dua aspek perilaku pemimpin yaitu perilaku yang mendukung dan perilaku yang terarah. Selanjutnya, mereka mengilustrasikan bahwa perilaku-perilaku tersebut digunakan sebagai perilaku yang terorientasi pada pembangun relasi dan perilaku dalam menginstruksikan tugas secara terencana. Aplikasi dari teori ini akan mampu membuka sekat antara pimpinan dan bawahan sehingga timbul kesiapan dan kedewasaan yang dibutuhkan institusi mencapai tujuan. Kepemimpinan dalam pandangan muhammadiyah memiliki tipikal khusus, yakni mengembangkan kepemimpinan kolektif-kolegial. Segala keputusan harus menjadi sebuah kesepakatan bersama yang diperoleh dengan pertimbangan yang matang oleh seluruh stakeholders. Penetapan rektor sebagai pimpinan institusi perguruan tinggi muhammadiyah seharusnya tidak hanya didasarkan pada kapasitas sebagai seorang kader. Pemimpin adalah manajer yang memberi arahan kepada bawahan agar dapat mengerjakan tugas dan bertanggung jawab pada hasil yang diperoleh. Perintah ataupun arahan diberikan secara jelas dan konsiten. Dalam teori kemepimpinan dikatakan bahwa “the leader is not born”, kepemimpinan bukan sebuah anugrah yang diwariskan. Kepemipinan di bangun dari sebuah kualifikasi yang mumpuni dan didasari oleh sebuah kecakapan sehingga terbetuk sebuah bangunan organisasi yang kokoh. Merujuk pada makalah Nizam dan Bassaruddin yang dipresentasikan dalam sebuah seminar dengan tema “Manajemen Perguruan Tinggi” mengatakan bahwa Rektor pimpinan perguruan tinggi berperan sebagai academic leader yang berfungsi untuk 1) membawa Institusi/PT menjadi pilar peradaban bangsa; 2) fasilitator; 3) memberdayakan SDM; dan 4) menciptakan lingkungan kerja yang hangat untuk semuanya. Sejarah merekam bahwa figur pemimpin Muhammadiyah sejak Kiai Haji Ahmad Dahlan dan generasi penerusnya datang dan pergi sesuai Sunatullah. Namun Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berjalan secara organisasi terus tumbuh, mekar, dan berkembang hingga saat ini dan insya Allah akan terus bertahan sampai ke depan yang jauh. Dengan plus dan minus, kepemimpinan Muhammadiyah yang demikian harus terus dipertahankan disertai peningkatan kualitas personal, fungsi, dan peranannya dalam membawa gerakan Islam pembaru ini ke arah yang semakin maju. Rektor secara sederhana yang dipahami adalah pimpinan tertinggi dalam sebuah institusi pendidikan tinggi yang bertanggung jawab atas keberlangsungan instusi. Keberhasilan Perguruan Tinggi tidak akan terlepas dengan keberhasilan pimpinan institusi Perguruan Tinggi. Rektor dianggap berhasil apabila dia memahami keberadaan PT sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin institusi PT tersebut. Studi keberhasilan rektor menunjukkan bahwa rektor adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu PT, bahkan lebih jauh lagi studi tersebut menyimpulkan bahwa keberhasilan PT adalah keberhasilan seorang rektor. Beberapa diantara rektor dilukiskan sebagai orang yang mempunyai harapan tinggi bagi para staff dan para mahasiswanya. Rektor adalah sosok yang banyak mengetahui tugas dan tanggung jawab personil, yang menentukan irama bagi PT tersebut. Pandangan tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan rektor dalam menggerakkan kehidupan PT mencapai tujuannya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam rumusan tersebut: 1) rektor berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan PT; dan 2) rektor harus memahami tugas dan fungsinya demi keberhasilan PT serta memiliki kepedulian kepada bawahannya. Didalam lingkungan organisasi, kepemimpinan terjadi melalui dua bentuk, yaitu kepemimpinan formal (formal leadership) dan kepemimpinan informal (informal leadership). Kepemimpinan formal terjadi apabila di lingkungan organisasi jabatan otoritas formal dalam organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses seleksi. Sedangkan kepemimpinan informal terjadi, dimana kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul dan berpengaruh terhadap orang lain karena memiliki kecakapan khusus atau berbagai sumber yang dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta mampu memenuhi kebutuhan dari anggota organisasi yang bersangkutan Berdasarkan rumusan di atas, pengertian orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses, berarti bahwa untuk mengisi jabatan kepempinan formal harus dilaksanakan melalui proses yang didasarkan atas kriteria-kriteria tertentu yang menjadi bahan pertimbangan, seperti latar belakang pengalaman atau pendidikan, pangkat, usia, dan integritas/kepribadiannya. Dalam kepemimpinan formal dengan jelas dapat pula dilihat tugas dan tanggung jawab, masa jabatan, pembinaan karir dan sebagainya. Oleh sebab itu, rektor pada hakikatnya adalah pejabat formal, sebab pengangkatannya melalui suatu proses dan prosedur yang didasarkan atas aturan yang berlaku. Adapun peran rektor sebagai pejabat formal dalam instutusi PT, dapat dijabarkan sebagai berikut: Peranan hubungan antar perseorangan. Peranan ini timbul akibat otoritas formal dari seorang pemimpin meliputi figurehead, leadership, dan liasion. Figurehead berarti lambing, dalam pengertian sebagai lambang rektor mempunyai kedudukan yang selalu melekat dengan instutusinya PT. Rektor dianggap sebagai lambang PT. Oleh karena itu, seorang rektor harus dapat selalu memelihara integritas diri agar peranannya sebagai lambang tidak menodai nama baik PT. Leadership adalah peranan sebagai pemimpin mencerminkan tanggung jawab rektor untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di PT sehingga lahir etika kerja dan produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan PT. Fungsi kepemimpinan ini amat penting sebab disamping berperan sebagai penggerak juga berfungsi untuk melakukan control sebagai aktivitas dosen, staff, dan mahasiswa serta sekaligus untuk meniliti persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan PT. Liasion dalam fungsi ini rektor berperan menjadi penghubung antara kepentingan PT dengan lingkungan luar PT. Sedang secara internal fungsi liaison PT adalah menjadi alat perantara antara dosen, staff, dan mahasiswa dalam menyelesaikan kepentingan bersama. Rektor pula berperan untuk menerima dan menyebarluaskan atau meneruskan informasi kepada dosen, staff, mahasiswa dan orang tua mahasiswa. Dalam fungsi inilah rektor berperan sebagai pusat urat syaraf PT. Ada tiga macam peran rektor sebagai pusat urat syaraf, yaitu: 1) sebagai monitor rektor selalu mengadakan pengamatan terhadap lingkungan, yaitu kemungkinan pengamatan terhadap penampilan istutusi pendidikannya, seperti gossip dan kabar angin; 2) sebagai disseminator rektor bertanggung jawab untuk menyebarluaskan dan membagi-bagikan informasi kepada para dosen, mahasiswa, staff, dan orangtua; 3) spokesman, rektor meyebarluaskan informasi kepada lingkungan di luar yang dianggap perlu. Dalam fungsi ini rektor berperan sebagai wakil resmi PT. selain itu, rektor juga Sebagai pengambilan keputusan. Peranan ini menjadi sangat krusial dalam menentukan keberhasilan PT karena jelas segala keputusan yang menghasilkan kebijakan yang tidak seirama dengan kondisi dan kebutuhan PT akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan dan kemajuan PT tersebut. Visi penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah adalah tertatanya manajemen dan jaringan pendidikan yang efektif sebagai gerakan Islam yang maju, profesional dan modern serta untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi peningkatan kualitas pendidikan Muhammadiyah. Misi penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah adalah: 1) menegakkan keyakinan tauhid yang murni, (2) menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, (3) mewujudkan amal islami dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, (4) menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai pusat pendidikan, dakwah dan perkaderan. Asas pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah berasaskan Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan tujuan pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah adalah untuk mengembangkan berbagai potensi siswa agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Allah swt, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara Indonesia yang demokratis serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Key words : Manajemen PT, leadership, Kadernisasi dalam Muhamadiyah, dan Quality Assurance. Words count : 2.033 words References Akib, E., Najib, M., & Ghafar, A. (2015). Assessment for Learning Instrumentation in Higher Education, 8(4), 166–172. doi:10.5539/ies.v8n4p166 Azhardi, Dkk. (2014). Leadership and Change. padang. Bassaruddin, N. T. (2010). Manajemen Pendidikan Tinggi Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta. Lambert, L. (1998). Building Leadership Capacity in School (p. 1-147). ASCD publication: Virginia USA. Nashir, H. (2011). Kepemimpinan dalam Muhammadiyah. Lembaga Administrasi Negara. (2008). Pemberdayaan Sumber Daya Manusia; Modul DIKLAT Tingkat III. Jakarta. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (2012). Pedoman Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang PTM. Jakarta. Rajbhandari, Mani M,S. (2014). Leadership Readiness for flexibility and mobility: The 4th Dimensions on Situational Leadership styles in educational settings. Department of Educational Leadership and Management (DELM), Faculty of Education: University of Johannesburg. Ribbins, Peter. (1997). Leaders and Leadership in the School, College and University. British Library: London.

Komentar

Postingan Populer