Desain dan Pengembangan Organisasi
1. Perbedaan, aspek-aspek desain dan struktur organisasi
Desain organisasi adalah bentuk mengenai koneksi antara variabel dan bagian organisasi. Pada organisasi formal, struktur direncanakan dan merupakan usaha sengaja untuk menetapkan pola hubungan antara komponen sehingga dapat mencapai sasaran secara efektif. Sedangkan organisasi informal, struktur organisasi yakni sistem yang tidak rencanakan dan timbul secara spontan akibat interkasi manusia. Desain organisasi memberikan kerangka yang menghubungkan wewenang karena struktur merupkan penetapan dan penghubung antar posisi para anggota organisasi. Jika seseorang memiliki suatu wewenang, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan wewenang tersebut.
Stuktur organisasi adalah merupakan suatu kerangka yang menunjukkan seluruh kegiatan untuk pencapaian tujuan organisasi, hubungan antar fungsi, serta wewenang dan tanggungjawab. Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa yang melapor kepada siapa, serta mekanisme koordinasi yang formal dan pola interaksi yang akan diikuti. Pada umumnya, orang akan menganggap struktur dan desain organisasi sama. Sesungguhnya desain organisasi merupakan proses perkembangan hubungan dan penciptaan struktur untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi, struktur merupakan hasil dari desain. Proses desain merupakan suatu kegiatan yang bersifat kontinu dan dirancang oleh manajer. Apapun bentuk atau hasil desain tersebut, para perancang desain organisasi tersebut tetap bertahan hidup. Selain itu, pemilihan desain organiasi tersebut akan menentukan besar kecilnya organisasi. Setiap ukuran organisasi akan memberikan keuntungan masing-masing, namun diharapkan tercapainya tujuan organisasi dan juga eksistensi dari organisasi.
Ada enam elemen yang perlu diperhatikan oleh para manajer ketika akan mendesain struktur organisasi. Ke-enam elemen tersebut meliputi :
1) Spesialisasi Pekerjaan adalah sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi dibagi-bagi ke dalam beberapa pekerjaan tersendiri.
2) Departementalisasi adalah dasar yang dipakai untuk mengelompokkan pekerjaan secara bersama-sama.
3) Rantai komando adalah garis wewenang yang tanpa putus yang membentang dari puncak organisasi ke unit terbawah dan menjelaskan siapa yang bertanggung jawab kepada siapa. Wewenang sendiri merupakan hak yang melekat dalam sebuah posisi manajerial untuk memberikan perintah dan untuk berharap bahwa perintahnya tersebut dipatuhi.
4) Rentang Kendali adalah jumlah bawahan yang dapat diarahkan oleh seorang manajer secara efisien dan efektif.
5) Sentralisasi – Desentralisasi. Sentralisasi adalah sejauh mana tingkat pengambilan keputusan terkonsentrasi pada satu titik di dalam organisasi.
6) Formalisasi adalah sejauh mana pekerjaan pekerjaan di dalam organisasi dilakukan.
Sementara komponen sebagai pembentuk struktur organisasi meliputi:
1) Pembagian kerja, menyangkut kadar dari spesialisasi pekerjaan. Para manager membagi seluruh tugas organisasi menjadi pekerjaan-pekerjaan khusus yang tersusun dari aktivitas-aktivitas khusus.
2) Pendelegasian kewenangan (delegation of authority) mengacu secara khusus pada kewenangan pengambilan keputusan, bukan melakukan pekerjaan. Pendelegasian kewenangan memiliki efek positif pada pengembangan manager professional, dan membawa iklim persaingan dalam organisasi.
3) Pembagian Departemen. Cara organisasi dibagi secara structural. Pembagian departemen ini dapat dikelompokkan menjadi pembagian departemen berdasarkan fungsinya (functional departementalization), berdasarkan wilayah (geographic departementalization), berdasarkan produk (product departementalization), berdasarkan pelanggan (customer departementalization).
4) Rentang Kendali adalah jumlah bawahan yang melapor kepada atasan. rentang ini merupakan satu faktor yang mempengaruhi bentuk dan tinggi suatu struktur organisasi.
2. Six Sigma
Six sigma adalah suatu metode untuk menghasilkan produk yang yang unggul karena dalam metode tersebut dilakukan diukur kemungkinan organisasi khususnya organisasi profit seperti perusahaan dapat membuat atau menghasilkan berbagai jumlah unit yang ditentukan dari suatu produk atau jasa dengan jumlah cacat nol ( zero defects ). Tujuannya tidak hanya mengurangi produksi jumlah cacat pada barang tetapi juga menghilangkan cacat pada organisasi itu.
Penggunaan utama Six Sigma dalam mengukur nol cacat telah digunakan dalam industry pabrik. Kebanyakan perusahaan pabrik AS rata-rata tingkatannya di bawah empat sigma. Di tahun 1990, IBM pada tingkat rata-rata tiga sigma, sedangkan Motorola pada tingkat empat sigma. Secara komparatif dapat dikatakan, industri apa pun, kebanyakan perusahaan rata-rata terletak pada tingkat empat sigma pada awal 1990, dengan pengecualian tingkat kecelakaan perusahaan penerbangan domestik terletak pada lima sigma.
Sebagai contoh, penanganan bagasi oleh perusahaan penerbangan, penulisan resep dokter, pemrosesan gaji, tagihan rumah makan, dan voucher jurnal semua pada tingkat empat sigma. Walaupun Six Sigma adalah suatu ukuran umum jumlah cacat nol di pabrik, beberapa perusahaan sudah memperluas konsep nol cacat ini, diukur oleh Six Sigma, kepada kepuasan pelanggan.
Mengelola Lembaga Pendidikan adalah tak ubahnya mengelola sebuah perusahaan. Dalam sebuah perusahaan, mutu produk yang berujung pada kepuasan pelanggan menjadi harga mati yang harus di-nomorsatu-kan. Sebab, Era perdagangan bebas otomatis akan memicu persaingan yang kian ketat. Siapa yang mengabaikan mutu maka dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh pelanggan. Dan demikianlah juga yang berlaku di lembaga-lembaga pendidikan (baca: sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi). Dalam kenyataannya, menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan ternyata juga diimbangi dengan sejumlah diantaranya yang harus gulung tikar. Ini menandakan bahwa masyarakat kian cermat dalam menentukan pilihannya. Selalu berlomba dalam peningkatan mutu adalah sebuah keharusan.
Six Sigma mengedepankan pelanggan dan menggunakan fakta dan data untuk mendapatkan solusi-solusi yang lebih baik. Tiga bidang utama yang menjadi target usaha six sigma yaitu: Meningkatkan kepuasan pelanggan;Mengurangi waktu siklus; dan mengurangi cacat (defect). Jika diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan, maka yang disebut sebagai pelanggan adalah masyarakat pengguna (orangtua, siswa), dan produknya adalah kompetensi para lulusannya. Setiap Lembaga pasti mempunyai target yang jelas layaknya sebuah perusahaan yang tertuang dalam visi-misi lembaga, misalnya; target waktu studi, target kompetensi lulusan, dan seterusnya. Jika target itu meleset maka dikategorikan sebagai produk cacat. Disinalah peran Lembaga dalam menjalankan proses pendidikan. Dengan Manajemen proses Six Sigma, maka target itu diharapkan nyaris sempurna.
3. Perubahan Organisasi
Perubahan organisasi selalu bersifat menyeluruh (organization-wide) sehingga perubahan tersebut bukan merupakan suatu perubahan yang bersifat piece meal namun mengarah pada penggunaan cara maupun sistem (termasuk struktur organisasi) yang lebih efisien dalam menjalankan organisasi agar dapat bertahan dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Pernyataan Heralictus, “the only constant is change”, mendapatkan makna yang sesungguhnya. Organisasi harus berubah untuk bisa tetap survive, dan melakukan perubahan organisasi bukanlah merupakan pilihan tetapi sudah merupakan keharusan. Perubahan yang dilakukan organisasi tidak selamanya berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan organisasi, yaitu peningkatan produktivitas, peningkatan motivasi dan moral anggota organisasi, serta pengurangan biaya yang menjadikan organisasi lebih kompetitif.
Benang merah kegagalan perubahan organisasi ini pada umumnya dikarenakan adanya “resistance” dari anggota organisasi. Keberhasilan organisasi melakukan perubahan tergantung sejauh mana organisasi dapat mengatasi resistansi yang ditimbulkan oleh keinginan berubah dan proses perubahan itu sendiri. Kegagalan dalam melakukan proses perubahan ini akan berdampak pada pencapaian tujuan organisasi, dan dalam jangka panjang akan mengancam kelangsungan hidup organisasi. Selama ini, kehidupan dalam organisasi masih diasumsikan berdasarkan rasionalitas semata. Padahal kalau kita mencermati akan semakin mengetahui bahwa resistansi juga berkaitan dengan faktor emosi.
Perubahan organisasi, terutama yang bersifat mendasar, bukan semata-mata ditanggapi secara kognitif-rasional, melainkan lebih merupakan suatu peristiwa yang emosional, dan ditanggapi dengan menggunakan emosi. Ketika para anggota organisasi mendengar dan mengetahui akan diadakan perubahan organisasi, reaksi pertama mereka pada umumnya adalah shock. Hal ini menandakan adanya suatu reaksi emosional. Terlebih kalau perubahan itu dipersepsikan akan berpengaruh negative terhadap dirinya dan situasinya. Dalam masa-masa perubahan organisasi, emosi lebih sering muncul dengan intensitas yang lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa biasa.
Keberhasilan perubahan hanya dapat terjadi bila karyawan bersedia mencurahkan waktu dan energi yang diperlukan untuk mencapai tujuan, serta bertahan terhadap kemungkinan akan stres dan kesulitan. Pemimpin juga membangun komitmen organisasi dengan merangkul karyawan melalui tiga tahapan proses komitmen perubahan. Pada tahap pertama, persiapan, karyawan mendengar mengenai perubahan melalui memo, rapat, atau pidato dan menjadi sadar akan perubahan tersebut dan hasil yang positif dari perubahan. Pada tahap kedua, penerimaan, pemimpin harus membantu karyawan mengembangkan pemahaman terhadap dampak menyeluruh dari perubahan dan hasil yang positif dari perubahan. Ketika karyawan menerima perubahan secara positif, maka keputusan untuk melakukan implementasi dibuat.
Pada tahap ketiga, yaitu tahap komitmen melibatkan langkah-langkah instalasi dan institusionalisasi. Instalasi adalah proses percobaan untuk perubahan, dimana memberikan kesempatan pada pemimpin untuk mendiskusikan masalah dan keprihatinan karyawan dan membangun komitmen untuk bertindak. Pada langkah terakhir, institusionalisasi, karyawan tidak memandang perubahan sebagai sesuatu yang baru melainkan sebagai hal yang normal dan bagian integral dari kegiatan operasi organisasi.
Dalam pengelolaan perubahan organisasi adanya ambiguitas, ketidakpastian akan menjadikan organisasi rentan terhadap konflik, yang harus diantisipasi oleh pihak manajemen. Keterbukaan pihak manajemen menjadi salah satu faktor penentu, yang dapat menerima penurunan kompetensi dan prestasi individu karena adanya masalah-masalah emosional. Transparansi manajemen sangat diperlukan kalau perubahan organisasi bersifat mendasar seperti melakukan perubahan pada core beliefs and core values, yang dapat mengganggu hubungan personal dan sosial yang ada dalam organisasi secara berarti.
Pengelolaan emosi dalam perubahan organisasi juga harus mempertimbangkan:
1) Kejelasan visi organisasi dalam perubahan, dimana visi ini tidak saja mempertimbangkan segi rasional, tapi juga segi emosional sehingga visi yang dikemukakan bersifat inspiring and motivating. Visi perubahan haruslah ”winning the head and the heart ”
2) Komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anggota organisasi yang mengalami perubahan. Isi komunikasi tidak saja yang berkaitan dengan perubahan yang dilakukan, tapi hal-hal yang dapat membantu mengurangi kecemasan. Komunikasi ini akan membantu mengurangi akibat-akibat negatif yang dipersepsikan anggota organisasi.
3) Jalur komunikasi yang digunakan sebaiknya jalur komunikasi yang informal, terutama kalau para anggota organisasi memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pihak manajemen.
4) Pengakuan kewajaran akan emosi negatif yang dialami oleh anggota organisasi, dan memperlakukan emosi negatif itu sebagai bagian dari proses perubahan itu sendiri, bukan sebagai resistansi atau sesuatu yang irrasional.
5) Menumbuhkan rasa percaya anggota organisasi kepada pihak manajemen sehingga karyawan percaya bahwa pihak manajemen memiliki kompetensi dalam proses perubahan, disamping kepercayaan bahwa proses perubahan ini berjalan secara adil dan fair.
6) Meningkatkan sensitivitas pada kebutuhan karyawan, apakah kebutuhan untuk peningkatan kompetensinya ataukah kebutuhan untuk catharsis, memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengeluarkan ”unek-unek”nya selama berlangsungnya proses perubahan.
7) Meningkatkan keterlibatan karyawan dalam proses perubahan itu sendiri, terutama terhadap proses perubahan itu (process control), tidak semata mata keterlibatan yang berupa keputusan mengenai perubahan (decision control).
Perubahan organisasi yang meninggalkan faktor emosi menyebabkan rendahnya faktor keberhasilan dalam perubahan tersebut. Apabila emosi dalam perubahan itu dikelola dengan baik, maka terjadi peningkatan kemungkinan keberhasilan perubahan tersebut. Pengelolaan ini nampak dari perilaku pihak manajemen yang berusaha mengurangi emosi negatif dan mendorong emosi positif terhadap perubahan. Emosi negatif dapat dikurangi dengan pengakuan secara sadar kecemasan-kecemasan yang timbul, serta pola dan isi komunikasi dengan pihak karyawan. Pengelolaan emosi ini akan berpengaruh terhadap kepercayaan dan kompetensi pihak manajemen dalam melakukan perubahan secara adil, transparan dan fair, yang mendorong rasa keterikatan karyawan terhadap proses perubahan organisasi untuk kepentingan semua.
Komentar
Posting Komentar